Selasa, 14 Juni 2022

PELAKU KAMPANYE

 

Pertemuan Kesepuluh Mata Kuliah

Perencanaan Kampanye Komunikasi

 

Hollaa guys, welcome 🙌🙌

Kembali lagi bersama saya Fika. Pada pertemuan kali ini, mata kuliah perencanaan kampanye komunikasi membahas tentang “Pelaku Kampanye”.

Siapakah Pelaku Kampanye Itu?

Secara umum, siapa pun yang terlibat dalam menggagas, merancang, mengorganisasikan, dan menyampaikan pesan dalam sebuah kegiatan kampanye dapat disebut sebagai pelaku kampanye. Ini berarti kegiatan kampanye tidak dikerjakan oleh pelaku tunggal, tetapi oleh sebuah tim kerja. Zalmant dkk. (1982) membagi tim kerja kampanye (social change campaign) menjadi dua kelompok, yakni leaders (pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh) dan supporters (pendukung di tingkat akar rumput). Dalam kelompok leaders terdapat koordinator pelaksana, penyandang dana, petugas administrasi kampanye, dan pelaksana teknis. Sementara dalam kelompok supporters terdapat petugas lapangan atau kader, penyumbang, dan simpatisan yang meramaikan acara kampanye.

Thayer (Signitzer, et.al, 1986)

Instrumental Mediator

·      Orang yang mendukung gagasan atau tujuan yang dikampannyekan

·      Sepenuhnya orang netral yang sekedar melakukan kewajibannya karena terikat kontrak kerja dengan penyelenggara

Consummatory Mediator

·         Mempresentasikan lingkungan nyata dari situasi atau gagasan yang dikampanyekan.

Pengaruh Kredibilitas Sumber Terhadap Kampanye

Dalam istilah Rakhmat (2001), kredibilitas tidak secara inheren ada dalam diri komunikator. Sementara dengan analogi yang pas, Pearson & Nelson (1997) menyebut kredibilitas itu mirip dengan kecantikan, ia ada pada mata orang yang memandangnya.

Keterpercayaan (Trustworthiness)

Menurut Johnston (1986), keterpercayaan atau kejujuran sumber banyak bergantung pada persepsi khalayak tentang maksud tindakan sumber. Jika khalayak menilai bahwa tindakan atau ucapan sumber didasari motif untuk mengambil keuntungan sepihak, ia akan menjadi kurang persuasif daripada sumber yang dipersepsi tidak memiliki kepentingan pribadi. Jadi, khalayak akan menolak pesan-pesan yang terlihat hanya mementingkan atau mengusakana kepentingan orang yang mengungkapkannya.

Keahlian (Expertise)

Dalam konteks kampanye, keahlian pelaku kampanye dimata khalayak dapat merentang dari kategori ahli hingga tidak akhli. Jika khalayak memersepsi komunikator sebagai orang yang ahli, mereka cenderung bersedia mendengarkan, mempelajari, dan menerima isi pesan yang disampaikan. Sebaliknya, bila komunikator dipandang tidak memiliki keahlian, khalayak akan mengabaikan pesan tersebut.

Daya Tarik Sumber (Attractiveness)

Daya tarik sumber termasuk variabel yang paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan praktisi periklanan, kampanye politik, dan publi relations dalam mengefektifkan pesan-pesan yang mereka sampaikan. Secaara umum, konsep ini meliputi penampilan fisik dan identifikasi psikologis.

Daya Tarik Fisik

Penampilan fisik seseorang akan memengaruhi bagaimana khalayak memersepsi sumber.

Daya Tarik Psikologis

Sebagai tambahan dari karakteristik fisik, kita juga harus mempertimbangkan daya tarik psikologis. Salah satu komponen daya tarik psikologis adalah kesamaan. Dalam banyak hal, kemiripan antara pembicara dan khalayak dapat meningkatkan daya tarik yang membuat upaya persuasi menjadi lebih efektif.

Faktor Pendukung Lainnya

Pada 1973, McCroskey, Jensen, dan Valencia mengidentifikasi tiga faktor pendukung lainnya yang memengaruhi kredibilitas sumber, yaitu keterbukaam, ketenangan, kemampuan bersosialisasi, dan karisma. (Larson, 1992; Bettinghause, 1976).

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENUNJANG KEBERHASILAN KAMPANYE

 

Pertemuan Kesembilan Mata Kuliah

Perencanaan Kampanye Komunikasi

 

Hollaa guys 🙌🙌

Kembali lagi bersama saya Fika. Pada pertemuan kali ini, mata kuliah perencanaan kampanye komunikasi membahas tentang “Faktor-Faktor Penghambat dan Penunjang Keberhasilan Kampanye”.

Faktor-Faktor Penghambat Keberhasilan Kampanye

Dari analisis yang dilakukan Hyman dan Sheatsley (Kotler, 1989) terhadap kegagalan kampanye tersebut disimpulkan bahwa:

1. Pada kenyataannya memang selalu ada sekelompok khalayak yang "tidak akan tahu" tentang pesan-pesan kampanye yang ditujukan pada mereka.

2. Kemungkinan individu memberikan tanggapan pada pesan-pesan kampanye akan meningkat bila ketertarikan dan keterlibatan mereka terhadap isu yang diangkat juga meningkat.

3. Orang yang membaca dan memersepsi informasi yang mereka terima berdasarkan nilai-nilai serta kepercayaan yang dimiliki.

4. Kemungkinan individu untuk menerima informasi atau gagasan baru akan meningkat bila informasi tersebut sejalan dengan sikap yang telah ada.

Kotler dan Roberto (1989) juga memberikan pendapat mereka tentang faktor-faktor yang menyebabkan sebuah program kampanye mengalami kegagalan, yaitu :

1. Program-program kampanye tersebut tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat.

2. Pesan-pesan pada kampanye yang gagal umumnya juga tidak cukup mampu memotivasi khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima.

3. Pesan-pesan tersebut juga tidak memberikan semacam "petunjuk" bagaimana khalayak harus mengambil tindakan yang diperlukan.

4. Kegagalan pada sebuah program kampanye yang berorientasi perubahan sosial juga dapat terjadi karena pelaku kampanye terlalu mengandalkan media massa tanpa menindaklanjuti dengan komunikasi antarpribadi.

5. Sebuah kampanye dapat gagal mungkin hanya karena anggaran untuk membiayai program tersebut tidak memadai.

Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Kampanye

1. Temuan Lazarsfeld, Merton, dan Wallack

Wallack adalah peneliti yang datang kemudian, yang berupaya menyempurnakan temuan-temuan kedua tokoh ilmu komunikasi tersebut. Temuan ketiga ilmuwan tersebut meliputi lima hal, yaitu :

  • Monopolization atau monopolisasi yang diartikan sebagai penguasaan penuh sebuah program kampanye terhadap media komunikasi yang ada.
  • Canalization yang diartikan sebagai penyaluran lebih lanjut dari perilaku atau sikap yang telah ada kepada sasaran baru yang masih searah.
  • Supplementation Lazarsfeld dan Merton meyakini bahwa kampanye perubahan sosial akan sukses bila pesan-pesan media massa ditindaklanjuti dengan komunikasi antarpribadi. Suplementasi akan terjadi bila pesan-pesan kampanye yang disebarkan lewat media massa didukung oleh pesan-pesan lain yang disampaikan lewat berbagai saluran komunikasi lainnya, terutama saluran antarpribadi.
  • Making personal connection istilah ini dapat diartikan sebagai upaya pelaku kampanye untuk mengaitkan pesan-pesan yang dibuat dengan karakteristik dan dunia pengalaman keseharian khalayak.
  • Creation of new opinions atau penciptaan pendapat-pendapat baru merupakan unsur kesuksesan kampanye lainnya. Asumsi yang mendasari konsep ini adalah bahwa lebih mudah untuk memperkenalkan pendapat dan keyakinan-keyakinan baru daripada mengubah yang sudah ada.

2. Temuan Rogers dan Storey

Rogers dan Storey (1987) menyimpulkan bahwa suksesnya sebuah kampanye biasanya ditandai oleh empat hal:

1. Penerapan pendekatan yang bersifat strategis dalam menganalisis khalayak sasaran kampanye

2. Pesan-pesan kampanye dirancang secara segmentatif sesuai dengan jenis-jenis khalayak yang dihadapi

3. Penetapan tujuan yang realistis

4. Kampanye lewat media akan lebih mudah meraih keberhasilan bila disertai dengan penyebaran personel kampanye untuk menindaklanjuti secara interpersonal

3. Temuan Snyder

Ada tiga faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian agar suatu program kampanye dapat berhasil, yakni: objek kampanye (sifat gagasan sosial, produk, atau kandidat politik), kesiapan khalayak dan lingkungannya, serta tindakan lanjutan (follow up).

Terkait tindakan follow up. Konsep ini sebenarnya hampir serupa dengan konsep komunikasi antarpribadi menurut Merton dkk, atau gagasan penyebaran personel kampanye dari Rogers dan Storey. Bedanya Snyder menyarankan tindak lanjut tersebut dalam konteks yang lebih luas.

4. Temuan Rice dan Atkin

Menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang secara nyata memberikan kontribusi pada keberhasilan kampanye meliputi:

1. Peran media massa

2. Peran komunikasi antarpribadi

3. Karakteristik sumber dan media

4. Evaluasi formatif

5. Himbauan pesan

6. Perilaku preventif

7. Kesesuaian waktu, aksesibilitas, dan kecocokan

5. Temuan Schenk dan Dobler

Schenk dan Dobler menyetujui sepenuhnya berbagai faktor penunjang keberhasilan kampanye yang disampaikan Lazarsfeld, dkk. (Perloff, 1993) serta temuan Rogers dan Storey (1987). Namun, menurut Schenk dan Dobler, dari berbagai faktor yang ada, peran pemuka pendapat menempati posisi yang sangat sentral.

6. Temuan Richard M. Perloff

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan Perloff (2017) sepanjang lima belas tahun terakhir, ditemukan beberapa hasil penelitian mutakhir yang berkaitan dengan berbagai faktor yang dapat meningkatkan keefektifan kampanye, di antaranya:

1. Memahami khalayak dan desain pesan sesuai karakteristik khalayak

2. Pesan harus diarahkan sesuai karakteristik budaya dari sub kategori khalayak sasaran

3. Sempurnakan pesan dengan relevan, kuat, dan punya daya tarik yang tinggi

4. Lakukan upaya pemanfaatan media secara maksimal

5. Lengkapi materi yang disampaikan lewat media dengan kontak dan partisipasi komunitas

6. Pada prinsipnya, lebih mudah mendorong pengadopsian perilaku baru daripada mengubah perilaku yang rusak atau disungsional

7. Gunakan pendekatan norma sosial dalam mendorong perilaku yang sesuai

8. Dorong khalayak untuk mengelaborasi pesan dengan memberikan lebih banyak sumber informasi yang dapat ditelusuri dan dikonfirmasi

9. Konsentrasilah pada membangun kesadaran

10. Bersikaplah fleksibel

7. Pendapat Mendelsohn

Pendapat Mendelshon tentang kampanye yang sukses pada mulanya dimaksudkansebagai reaksi terhadap pendapat Hyman dan Sheatley, yang menyatakan bahwa kegagalan kampanye umumnya terjadi karena adanya sejumlah besar khalayak yang tidak peduli pesan-pesan yang ditujukan pada mereka. Menurut mendelshon ini pernyataan yang salah. Kita tidak dapat menyalahkan khalayak karena mereka tidak terpengaruh oleh program kampanye.

Menurut Mendelsohn, kampanye komunikasi dapat sukses jika pelaku kampanye juga memperhitungkan tiga hal berikut (Windahl, Signitzer & Olson, 1992) :

1. Kampanye seharusnya menetapkan tujuan yang realistis sesuai situasi masalah dan sumber daya yang tersedia

2. Semata-mata menyampaikan pesan kampanye melalui media massa tidaklah cukup

3. Perencana kampanye harus mengetahui publik yang mereka hadapi secara memadai

Jumat, 10 Juni 2022

PERSUASI: LANDASAN PRAKTIK KAMPANYE

 

Pertemuan Kedelapan Mata Kuliah

Perencanaan Kampanye Komunikasi

 

Hai,,hai it’s Fika😊😊

Welcome back🙌🙌

Pada pertemuan kali ini, mata kuliah perencanaan kampanye komunikasi membahas tentang “Persuasi: Landasan Praktik Kampanye”.

Kampanye dibedakan menjadi dua aspek, yang pertama menyoroti bagaimana cara kampanye dilakukan dan yang kedua memfokuskan pada tujuan yang akan dicapai oleh suatu kegiatan kampanye. Perbedaan kedua menekankan aspek tujuan kampanye, membagi kampanye dalam kampanye informatif dan persuasive. Suatu kampanye dikatakan informatif apabila bertujuan memberikan informasi, melakukan perubahan pada tataran kognitif, menggugah kesadaran khalayak tentang isu tertentu.

Sedangkan, kampanye persuasif ditandai oleh tujuannya yang bersifat mengajak dan menganjurkan perubahan tataran efektif dan behavioral. Jadi perbedaannya hanya pada aspek tujuan langsung kampanye yang dilihat dari sisi pelakunya.

Persuasi sebagai Titik Tolak Kampanye

Meski inti kampanye adalah persuasi, namun tindakan persuasif dalam kampanye berbeda dengan tindakan persuasive perorangan. Sekurang-kurangnya ada empat aspek dalam kegiatan kampanye persuasive yang tidak dimilki tindakan persuasive perorangan yakni:

a. Kampanye secara sistematis berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat atau gagasan yang disodorkan

b. Kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan mulai dari menarik perhatian khalayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak, hingga akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata.

c. Kampanye juga mendramatisasi gagasan-gagasan yang disampaikan pada khalayak dan mengundang mereka untuk terlibat baik secara simbolis maupun praktis, guna mencapai tujuan kampanye.

d. Kampanye juga secara nyata menggunakan kekuatan media massa dalam upaya menggugah kesadaran hingga mengubah perilaku khalayak.

Pace, Peterson dan Burnett (1979) mendefinisikan persuasi sebagai “tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu. Johnston (1994) memberikan definisi yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa “persuasi adalah proses transaksional diantara dua orang atau lebih dimana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna simbolis yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap dan atau perilaku secara sukarela”. Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap, kepercayaan, dan perilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan komunikator.

Teori Persuasi dalam Praktik Kampanye

1. Model Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model)

Model keyakinan kesehatan menjelaskan kondisi-kondisi yang sangat diperlukan bagi terjadinya suatu perubahan perilaku. Meski terlihat mengkhususkan diri pada perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, model ini dapat digunakan untuk mengalaisis berbagai pemikiran yang harus ditumbuhkan dalam diri khalayak melalui pesan-pesan kampanye agar menjadi perubahan perilaku sesuai dengan yang diinginkan.

Menurut model ini, manusia akan mengambil tindakan untuk mencegah, menyaring, dan mengontrol berbagai kondisi dirinya, dalam hal ini adalah penyakit, dengan berdasarkan kepada faktor-faktor berikut :

1. Persepsi akan kelemahan

2. Persepsi risiko

3. Persepsi akan keuntungan

4. Persepsi akan rintangan

5. Isyarat-isyarat untuk bertindak

6. Kemampuan diri

2. Teori Difusi Inovasi (Diffusion of Innovation)

Teori difusi inovasi menjelaskan bagaimana inovasi-inovasi tertentu berkembang dan diadopsi oleh masyarakat. Teori ini berguna dalam menganalisis kolaborasi yang tepat antara penggunaan komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi untuk membuat masyarakat mengadopsi suatu produk, perilaku atau ide tertentu yang dianggap baru (inovasi).

Kolaborasi antara media massa dan kontak antarpribadi akan sangat membantu individu dalam membuat keputusan untuk menerima atau menolak. Pada dasarnya, keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Apakah inovasi tersebut lebih baik daripada apa yang selama ini dipercaya atau digunakan?

2. Apakah inovasi tersebut mudah untuk dipahami dan digunakan?

3. Apakah orang lain dalam kelompok utama menggunakan inovasi tersebut? Bagaimana pengalaman mereka selama mengadopsi inovasi tersebut?

4. Apakah inovasi tersebut sesuai dengan norma-norma sosial yang dianut masyarakat serta gambaran diri individu tersebut?

5. Apakah ada kemungkinan untuk mencoba inovasi tersebut terlebih dahulu sebelum benar-benar mengadopsinya?

6. Seberapa besar komitmen yang diperlukan untuk menggunakan inovasi?

7. Seberapa besar risiko yang akan muncul berkaitan dengan adopsi inovasi tersebut?

3. Teori Perilaku Terencana

Teori perilaku terencana menjelaskan bahwa faktor utama yang menentukan terbentuknya suatu perilaku adalah tujuan perilaku itu sendiri. Suatu perilaku tidak terbentuk begitu saja tanpa adanya perencanaan atau kesadaran seseorang akan tujuan yang ingin dicapai melalui perilaku tersebut. Kesadaran akan tujuan tertentu dapat membawa individu untuk membuat rencana membentuk sebuah perilaku dalam suatu situasi tertentu.

Pada dasarnya, tujuan sebuah perilaku ditentukan oleh faktor-faktor berikut :

1. Sikap terhadap perilaku

2. Norma subjektif yang berhubungan dengan perilaku

3. Persepsi terhadap pengawasan perilaku

4. Teori Disonansi Kognitif

Teori yang diungkapkan oleh Leon Festinger pada 1957 ini mengemukakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah pada saat mereka sedang berada pada situasi konflik. Ini dapat terjadi karena pada dasarnya manusia didorong oleh keinginan untuk selalu berada dalam suatu keadaan psikologis yang seimbang (konsonan).

Ada tiga faktor yang dapat memengaruhi besarnya disonansi yang dirasakan orang, yaitu :

1. Derajat kepentingan atau seberapa penting isu tertentu bagi orang tersebut

2. Besarnya perbandingan disonansi atau kesadaran disonansi seorang manusia yang berhubungan dengan jumlah kesadaran konsonan yang dimilikinya

3. Dasar pemikiran bahwa orang dapat memerintahkan untuk membenarkan inkonsistensi. Ini berangkat dari alasan yang digunakan untuk menjelaskan mengapa inkonsistesi bisa terjadi.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi, antara lain :

1. Mengubah kognisi

2. Menambah kognisi

3. Mengubah atau mengganti kepentingan

4. Membuat misinterpretasi informasi

5. Mencari informasi pembenaran

5. Teori Tahapan Perubahan (Stages of Change Theory)

Teori yang biasa disebut juga dengan transtheoretical model akan sangan membantu dalam menganalisis jenis khalayak sera membuat pesan-pesan yang sesuai untuk setiap jenis khalayak. Teori ini menjelaskan tahapan-tahapan yang dilalui seorang individu dalam rangka mengadopsi sebuah perilaku. Ada lima tahap yang akan dilalui seorang individu, yaitu :

1. Praperenungan

2. Perenungan

3. Persiapan

4. Tindakan

5. Pemeliharaan

6. Teori Pembelajaran Kognitif Sosial (Social Cognitive Learning Theory)

Teori pembelajaran kognitif sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa perubahan perilaku sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu dan lingkungannya. Sebagaimana diungkapkan pada teori perilaku terencana, individu akan termotivasi untuk bertindak jika ia percaya bahwa nilai positif yang diharapkan dari perilaku tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai negatifnya

7. Teori Pertimbangan Sosial (Social Judgement Theory)

Teori pertimbangan sosial yang dikemukakan oleh Muzafer Sherif, Carolyn Sherif dan Nebergall (1965) merupakan teori yang memprediksi argumen-argumen yang akan diterima serta ditolak oleh khalayak. Menurut teori ini, manusia tidak membuat penilaian terhadap sebuah pesan secara murni berdasarkan manfaat yang dimaksud dalam pesan tersebut. Manusia selalu membandingkan sesuatu yang dianjurkan dalam sebuah pesan dengan sikap awal mereka. Sikap awal mereka kemudian akan dijadikan sebagai titik pedoman dalam menilai sesuatu, yang kemudian akan menentukan apakah mereka menerima anjuran tersebut atau tidak.

Strategi Persuasi untuk Praktik Kampanye

Teori-teori persuasi dapat membantu mengidentifikasi proses-proses yang terjadi ketika pesan-pesan kampanye diarahkan untuk memengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Teori-teori tersebut juga dapat memperkaya pemahaman mengenai tahapan efek yang akan dimunculkan dalam sebuah kegiatan kampanye. Bertolak dari teori-teori tersebut, Perloff (1993) menyarankan beberapa strategi persuasi yang dapat digunakan dalam praktik kampanye, yaitu :

1. Pilihlah komunikator yang terpercaya

2. Kemaslah pesan sesuai keyakinan khalayak

3. Munculkan kekuatan diri khalayak

4. Ajak khalayak untuk berpikir

5. Gunakan strategi pelibatan

6. Gunakan strategi pembangunan inkonsistensi

7. Bangun resistansi khalayak terhadap pesan negatif

Resistansi terhadap Upaya Persuasi

Semua orang memiliki potensi untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai pesan yang berusaha untuk memengaruhi. Manusia menyandarkan dirinya pada suatu keyakinan untuk dapat mengontrol berbagai pesan yang berusaha memengaruhi dirinya, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun konatif.

Jack Brehm (Perloff, 1993) adalah salah seorang ahli yang menelaah secara langsung kecenderungan manusia untuk resistan terhadap perubahan. Penelitian tesebut dituangkannya ke dalam teori reaksi psikologis yang memberikan penjelasan berguna mengenai kecenderungan universal manusia untuk melawan upaya perubahan.

Reaksi psikologis terjadi ketika seseorang termotivasi untuk "memberontak" saat kebebasannya untuk memilih tindakan-tindakan tertentu diancam dengan persuasi. Akibatnya, bukan kerelaan yang muncul, melainkan kebulatan tekad yang akan membawa kekebalan terhadap persuasi.

Resistansi terhadap suatu pesan dapat ditunjukkan oleh seseorang dengan berbagai cara. Namun, pada dasarnya ada dua jenis resistansi, yaitu resistansi destruktif dan resistansi konstruktif. Resistansi destruktif ditunjukkan dengan perilaku ketidaksetujuan yang negatif, bahkan cenderung memberontak terhadap seseuatu yang sebenarnya tidak boleh ditolak. Sementara resistansi konstruktif adalah sebuah penolakan terhadap suatu pengaruh yang berlawanan dengan norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Strategi Persuasi untuk Praktik Kampanye

1. Pilihlah Komunikator yang terpercaya Kredibiltas adalah persepsi yang dimiliki khalayak tentang komunikator. Ia merupakan kerangka perseptual khalayak tentang komunikatordan bukan karakteristik komunikator itu sendiri (Hovland dalam Larson 1953). Karenanya kredibiltas yang dimiliki komunikator harus disesuaikan dengan khalayak yang akan dituju.

2. Kemaslah pesan sesuai dengan keyakinan khalayak Fishbein dan Ajzen (Perloff, 1993) mengatakan bahwa pesan akan dapat mempunyai pengaruh yang besar untuk mengubah perilaku khalayak jika dikemas sesuai dengan kepercayaan yang ada pada diri khalayak.

3. Munculkan kekuatan diri khalayak

4. Ajak khalayak untuk berpikir

5. Gunakan strategi pelibatan

6. Gunakan strategi pembangunan inkonsistensi

7. Bangun resistansi khalayak terhadap pesan negative

Terima kasih, sampai ketemu dimateri selanjutnya😊🙌

Rabu, 08 Juni 2022

MODEL - MODEL KAMPANYE

 

Pertemuan Ketujuh Mata Kuliah

Perencanaan Kampanye Komunikasi

Hallo guys, welcome back😊😊

Pada pertemuan mata kuliah perencanaan kampanye komunikasi kali ini membahas tentang “Model-Model Kampanye” dari buku manajemen kampanye karya Antar Venus.

Sebelum membahas tentang model-model kampanye, saya akan memberikan pengertian tentang kampanye. Kampanye adalah sebuah kegiatan komunikasi yang bersifat kompleks dan beraneka segi (multifaceted). Untuk memahami bagaimana proses berlangsungnya aktivitas kampanye, diperlukan model yang secara deskriptif akan menggambarkan kesalingketerkaitan antara berbagai aspek yang menjadi bagian dan alur dari praktik kampanye.

Definisi dan Arti Penting Kampanye

Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata ataupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut (Mulyana, 2000).

  • Model Komponensial Kampanye (Componential Campaign Model)

Model ini digagas oleh berbagai ahli kampanye dengan menggunakan kerangka kerja lasswell (Lasswellian Framework) sebagai acuannya. Model ini mengambil komonen-komponen pokok yang terdapat dalam suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan kampanye. Unsur-unsur yang terdapat dalam di dalamnya meliputi sumber kampanye, saluran, pesan, penerima kampanye, efek, umpan balik, dan gangguan. Unsur-unsur tersebut harus dipandang sebagi suatu kesatuan mensdeskripsikan dinamika proses kampanye.

  • Model Pengaruh Kampanye

Model yang dalam bahasa aslinya dinamai model of campaign influence process, memiliki kedekatan konseptual dengan model komponensial kampanye. Penggagas model ini tidak diketahui pasti. Umumnya, ahli kampanye mengaitkan model ini dengan Denis McQuail, seorang ahli komunikasi massa berkebangsaan Belanda. Model ini menekankan aspek proses pelaksanaan kampanye dengan fokus pada capaian efek.

Menurut model ini, strategi kampanye harus mempertimbangkan enam aspek yang sangat menentukan keberhasilan kampanye, yaitu aspek sumber atau penyelenggara kampanye, aspek saluran, aspek pesan kampanye, aspek perangkat penyaringan, aspek variable public react, dan aspek efek kampanye.

  • Model Kampanye Ostergaard

Model ini dikembangkan oleh Leon Ostergaard, seorang teoretikus dan praktisi kampanye kawakan dari Jerman (Klingemann, 2002). Model yang diciptakannya ini tidak muncul dari atas meja, tetapi dari pengalaman praktik lapangan. Di antara berbagai model kampanye yang ada, model ini dianggap yang paling pekat sentuhan ilmiahnya. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata kunci yang digunakan di dalamnya.

Menurut Ostergaard, sebuah rancangan program kampanye untuk perubahan sosial yang tidak didukung oleh temuan-temuan ilmiah tidak layak untuk dilaksanakan. Karena program semacam itu tidak akan menimbulkan efek apapun dalam menganggulangi masalah sosial yang dihadapi.

  • The Five Functional Stages Development Model

Model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale University AS pada awal 1960-an (Larson, 1993). Model ini dianggap yang paling populer dan banyak diterapkan di berbagai belahan dunia.

Pada model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelum akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuannya.

Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanuye yang dengan mudah dapat dikenali oleh khalayak.

Tahap kedua adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh, misalnya ketika seseorang telah masuk daftar calon anggota legislatif atau seorang calon presiden memperoleh dukungan kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.

Tahap ketiga adalah partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit untuk dibedakan dengan tahap legitimasi karena ketika seorang kandidat, produk, atau gagasan mendapatkan legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak.

Tahap keempat adalah tahap penetrasi. Pada tahap ini, seorang kandidat, sebuah produk, atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat di hati masyarakat.

Tahap terakhir adalah tahap distribusi. Pada tahap ini, tujuan kampanye pada umumnya telah tercapai.

  • The Communicative Functions Model

Judith Trent dan Robert Friedenberg adalah praktisi sekaligus pengamat kampanye politik di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Political Campaign Communication, mereka merumuskan sebuah model kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik. Sebagaimana model yang dikembangan Tim Yale University, model ini juga memusatkan analisisnya pada tahapan kegiatan kampanye.

  • Model Kampanye Nowak dan Warneryd

Menurut McQuail & Windahl (1993), model kampanye Nowak dan Warneryd merupakan salah satu contoh model kampanye tradisional. Pada model ini, proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai dan diakhiri dengan efek yang diperoleh.

Pada model Nowak dan Warneryd, terdapat delapan elemen kampanye yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Intended Effect (efek yang diharapkan)

2. Competing Communication (persaingan komunikasi)

3. Communication Object (objek komunikasi)

4. Target Population & Receiving Group (populasi target dan kelompok penerima)

5. The Channel (saluran)

6. The Message (pesan)

7. The Communicator/Sender (komunikator/pengirim pesan)

8. The Obtained Effect (efek yang dicapai)

  • The Diffusion of Innovation Model

Model ini umumnya diterapkan dalam kampanye periklanan dan kampanye yang berorientasi pada perubahan sosial. Penggagasnya adalah ilmuan komunikasi ternama, Everett M. Rogers. Dalam model ini, Rogers menggambarkan adanya empat tahap yang akan terjadi ketika proses kampanye berlangsung. (Larson, 1993). Empat tahap tersebut adalah tahap informasi, persuasi, membuat keputusan untuk mencoba dan tahap konfirmasi atau reevaluasi.

  • Model Kampanye Komunikasi Kesehatan Strategis

Model ini muncul dari praktik komunikasi kesehatan, khususnya yang berfokus pada promosi kesehatan, yakni tindakan komunikasi yang dirancang untuk memengaruhi khalayak dalam menerima dan menjalani pola hidup sehat. Model ini dikemukakan oleh E.W. Maibach, G.L. Kreps, dan E.W. Bonaguro pada 1993, dikembangkan dari hasil riset mereka dalam kampanye pencegahan HIV/AIDS di Amerika Serikat.

  • Model Komponen dan Tahapan Kampanye Simon

Model ini dikemukakan pakar kampanye Amerika, Hibert Simon. Dalam model ini, Simon secara terperinci menjelaskan tahapan serta aspek-aspek yang umumnya hadir dalam aktivitas kampanye (Raymond S. Ross, 2001).

Dalam model ini, Simon membagi tahapan kampanye menjadi lima bagian, antara lain planning, mobilization, legitimation, promotion dan activation.

  • Model Manajemen Kampanye (Campaign Management Model)

Penulis mengonstruksi model ini pada 2015 (Venus, 2015) setelah memadukan hasil-hasil riset kampanye kuantitatif dan kualitatif secara kumulatif teori-teori kampanye, terutama yang digagas oleh Kami J. Silk (Littlejohn, 2009), dan akumulasi pengalaman model ini dapat disebut sebagai model integratif yuang memadukan pendekatan teoritis dan praktis. Penulis menyebut model ini sebagai model manajemen kampanye karena di dalamnya terkandung lima elemen manajemen yang penting, yakni perencanaan, pengembangan, implementasi, monitoring, dan evaliasi (PPIME). Dalam model PPIME, kita akan melihat bagaimana teori-teori diterapkan secara praktis dalam praktik kampanye.

Nah, itu dia model-model kampanye menurut buku Manajemen Kampanye karya Antar Venus. Sampai jumpa dipertemuan selanjutnya😊🙌

Vlog Campaign #AyoKeKebunRaya

 Hallo guys.. Welcome back🙌🙌 Pada mata kuliah Perencanaan Kampanye Komunikasi dengan dosen Ibu Pipit. Kami diberi tugas untuk membuat Vlog...